Tuesday 10 March 2015

Ibuku Rindu Baitullah

Aku berdiri didepan pintu tidak kurang dari satu jam. Hatiku berdesir mendengar rintihan perempuan yang melahirkanku. Ibuku menangis menatap selembar kain yang membawanya pergi menuju-Nya. Suaranya tersamarkan oleh isakku yang menjadi-jadi. Pukul 03.45 menit tepat aku melangkah menjatuhkan diri dihadapan beliau, ibuku. Aku memeluk, menangis meminta maaf karena belum sanggup memenuhi keinginannya, juga keinginan ayahanda yang dahulu pergi.
Aku mendengar cerita ayah juga ibu ketika hendak mengikat ikrar pernikahan diwaktu muda. Ayahku berjanji akan membawa pergi ibuku ketempat yang banyak dirindukan orang. Entah aku tidak pernah tahu tempat apa itu. Ayah bercerita ketika umurku 7 tahun dan hujan mengumpulkan keluarga kecil kami di meja makan. Aku anak laki-laki tunggal, yang menjadi tombak bagi keluarga, penopang sekaligus tumpuan bagi ayah juga ibu.
Hari ini, ketika fajar menyambut pagi, aku menumpahkah air mata setelah 5 tahun kepergian ayah. 
Aku menumpahkan kerinduanku pada ibuku tepat dihadapannya. Dengan uraian air mata, aku bertanya juga menyeka ujung mata beliau dengan sapu tangan.
"Ibu, kalaupun ibu mengijinkan, bolehkan Aiman tahu tempat apa yang dijanjikan ayah kepada ibu?" Aku menegaskan kalimatku lembut. "Aiman, Ayahmu telah pergi lima tahun lamanya, janji itupun juga ikut pergi lima tahun lamanya." Ibuku menunduk, menyeka ujung mata yang dibanjiri peluh.
"Ibuku, jika Allah menghendaki, dan jika ibu bersedia cerita, Aiman lah orang yang akan mengantarkan ibu ketempat yang banyak dirindukan orang." Aku tertunduk lama.
"Baiklah ibu akan bercerita. Aiman, anakku. Dulu ketika ayahmu menikahi ibu, 27 tahun lalu, dua tahun sebelum kelahiranmu. Ayahmu berjanji ingin membawa ibu pergi mengunjungi rumah Allah, rumah yang dirindukan banyak orang, termasuk kedua orang tuamu ini. Ayah berusaha keras menabung untuk perjalan menuju rumah-Nya. Namun, tabungan ayah tidak cukup untuk memberangkatkan kami berdua.  
Tabungan ayah hanya cukup satu orang, sedangkan ayah bersikukuh harus pergi bersama ibu, walaupun ibu tidak pernah memintanya. Itu janji ayahmu sendiri, janji yang tidak dipengaruhi pikiran ibumu. Dan saat ibu bersujud, ibu teringat rumah Allah yang belum sempat ibu kunjungi." ibu menata nafasnya yang terputus putus.
Tangisku semakin menjadi-jadi, melihat ibu begitu setia dengan janji ayah. Janji yang menyatukan keduanya lebih erat untuk mengapai surga-Mu.
"Ibu, Aiman akan memenuhi janji ayah untuk pergi ke rumah Allah bu, Aiman punya sedikit rezki yang sudah ditabung sejak awal bekerja sebagai Office boy dan sekarang menjadi manager gudang, Jika Allah menghendaki Ibu sekaligus Aiman berangkat haji tahun ini, Aiman akan berusaha bu."
Ibu memelukku erat, tetesan peluh membanjiri pundakku. Aku memutuskan membahagiakan Ibuku sebelum membahagiakan diriku sendiri. Walaupun dalam waktu dekat aku juga menyusun rencana menikah dengan perempuan yang belum sempat aku kenalkan dengan ibu.
"Aiman, apa kau yakin nak?"
"Aiman, yakin bu. Atas izin Allah, akan Aiman lunasi biaya seluruh perjalanan juga keperluan disana minggu depan. Uang Aiman insyallah cukup bu." Ibu mencium keningku, masih dengan peluh yang membuat mata beliau sembab.
"Terimakasih, Aiman anakku, semoga Allah selalu melancarkan rezkimu, semoga Allah selalu melindungimu, menjadikan engkau sebagai teladan untuk keluarga. Ayahmu pasti bangga disurga-Nya."
"Ammin, terimakasih doa tulusmu bu, sungguh Aiman tidak bisa menandingi kekuatan do'a Ibu"
Adzan subuh berkumandang gagah. Aku menuju kamar kecil, mengambil air wudhu dan sholat jama'ah subuh dengan Ibu.
Semoga Allah mengabulkan  keinginanku untuk pergi mengantikan ayah memenuhi janji beliau bersama Ibu tahun ini ke Baitullah, tempat yang dirindukan banyak orang, dirinduka Ayahku yang dulu pergi dan Ibuku yang masih bersamaku. Aku mencintai janji ayah juga mencintai kesetiaan ibuku.
Semoga Allah merahmati jalan lurus kami.

2 siulan manis

semoga bermanfaat ya mbak... terimakasih atas kunjungannya :)

jangan cuman dilihatin doang dong.
comment yukz :-)