"Ati-ati le, ning kono ora pareng nakal nggeh." suara ibu paru baya
melepas putranya untuk pergi mengikuti wisata yang diadakan sekolah
malam ini.
Ibu berparas lebih tua dari umurnya, tubuhnya kecil kurus, dari wajahnya
terlihat keragu-raguan antara rela tak rela membiarkan anak
laki-lakinya belajar mandiri untuk beberapa hari tanpa ibu serta kakak
laki-lakinya.
Ibu ini, saya tidak tahu namanya, datang mengantarkan putranya keduanya
bersama putra pertamanya pukul 8 malam diiringi gerimis kecil yang
menguyur kota ini.
Saya melihat dari kejauhan tidak kuasa membendung air mata, sungguh wajib bersyukur saya ini.
Menurut cerita yang saya dengar, putranya yatim diusia yang belum
dewasa. Putra pertamanya menginjak bangku SMA dan putra keduanya
menginjak bangku SD. Suaminya meninggal akibat gagal jantung setahun
yang lalu, ibu ini berprofesi sebagai pedagang kecil dipuskesmas,
menjual mie instan, teh hangat dan makanan ringan lainnya, sedangkan
pekerjaan suaminya sebagai tukang parkir.
Namun kini pekerjaan suaminya diambil alih putra sulungnya yang bekerja
selepas pulang sekolah menjadi juru parkir sekaligus tukang ngepel
puskesmas.
Putranya tumbuh dewasa dengan kedewasaan tanpa sosok ayah yang dikatakan
ataupun tidak sangat mereka rindukan. Wajah-wajah mereka megambarkan
ketegaran, ujian hidup yang mereka hadapi berat, diusia remaja harus
meninggalkan arena bermain demi menyambung hidup, membayar hutang
pengobatan ayahnya serta berjaga-jaga apabila terjadi sesuatu.
Ibu dan kedua putranya ini setiap hari tinggal dipuskesmas, berbaju dan
beralas tidur sederhana, bahkan sesekali terlihat kakinya bertelanjang.
Putra sulungnya, saya tidak tahu apakah masih melanjutkan sekolah atau
berhenti.
Putra sulungnya dulu semasa SD satu angkatan dengan saya sehingga saya
tahu sedikit tentangnya, dulu saya juga sempat melihat ayahnya sebelum
meninggal juga dia yang masih SMP mencari rongsokan barang bekas
ditempat-tempat pembuangan sampah.
Keluarga ini hidup dengan kelapangan hati yang tidak semua keluarga memilikinya.
Malam ini, ketika saya memutuskan mengantarkan adik laki-laki saya
mengikuti wisata disekolahannya, saya melihat ibu ini bersama putra
sulungnya mengantarkan putranya/adik laki-lakinya, wajah adik
laki-lakinya bahagia menunggu keberangkatan bus yang terparkir di kiri
jalan raya depan sekolah, saya melihat kebahagian yang berbeda dari
wajah putranya yang mungkin jarang mengikuti wisata seperti ini, wajah
ibunya cemas memikirkan anaknya. Si sulung merangkul pundak adiknya,
menepuk-nempuk memberi nasihat agar berhati-hati disana.
Alangkah terkejut saya ketika melihat kearah kakinya, si sulung
bertelanjang kaki, ibunya juga demikian dan adik laki-lakinya mengenakan
alas kaki seadanya dari sandal sepuluh ribuan. Kaki mereka terselimuti
lumpur yang tersiram air gerimis. Adiknya yang tertawa bahagia melihat
wajah ibunya yang penuh keragu-raguan, memastikan dia akan baik-baik
saja disaja. Klakson keberangkatan dibunyikan, si Sulung mengantarkan
adiknya menuju bus, membawakan bekal serta jaket untuknya, sedangkan ibunya
diluar tertunduk menyeka ujung matanya dengan ujung baju yang
dikenakannya. Selang beberapa menit si sulung keluar dari bus, memberi
isyarat pada ibunya bahwa semua peralatan adiknya telah siap dan akan
baik-baik saja. Tapi air mata kecemasan ibunya semakin membanjiri
pipinya, ditengah hiruk pikuk keramaian jalan raya, si sulung memnyeka
air mata ibunya dengan tangannya dan mendekap ibunya. Memberi kenyamanan
akan kecemasannya, memberi pengertian akan adiknya yang akan baik-baik
saja.
Bus sempurna melaju perlahan, diiringi kepulangan orang tua murid juga
ibu ini yang pulang dengan rangkulan pundak putra sulungnya.
Anak sulungnya kini mengantikan posisi suaminya sekaligus ayah bagi
kedua putranya. Si sulung menjadi remaja yang bijaksana dalam menghadapi
masalah hidup.
Saya yang melihat dari kejauhan berusaha menahan air mata agar tak
tumpah. Subhanallah, semoga keluarga ini selalu tercukupi secara lahir
maupun batin.
jangan cuman dilihatin doang dong.
comment yukz :-)