Thursday 26 March 2015

Kedewasaan Tanpa Ayah

"Ati-ati le, ning kono ora pareng nakal nggeh." suara ibu paru baya melepas putranya untuk pergi mengikuti wisata yang diadakan sekolah malam ini.
Ibu berparas lebih tua dari umurnya, tubuhnya kecil kurus, dari wajahnya terlihat keragu-raguan antara rela tak rela membiarkan anak laki-lakinya belajar mandiri untuk beberapa hari tanpa ibu serta kakak laki-lakinya.
Ibu ini, saya tidak tahu namanya, datang mengantarkan putranya keduanya bersama putra pertamanya pukul 8 malam diiringi gerimis kecil yang menguyur kota ini.
Saya melihat dari kejauhan tidak kuasa membendung air mata, sungguh wajib bersyukur saya ini.
Menurut cerita yang saya dengar, putranya yatim diusia yang belum dewasa. Putra pertamanya menginjak bangku SMA dan putra keduanya menginjak bangku SD. Suaminya meninggal akibat gagal jantung setahun yang lalu, ibu ini berprofesi sebagai pedagang kecil dipuskesmas, menjual mie instan, teh hangat dan makanan ringan lainnya, sedangkan pekerjaan suaminya sebagai tukang parkir.
Namun kini pekerjaan suaminya diambil alih putra sulungnya yang bekerja selepas pulang sekolah menjadi juru parkir sekaligus tukang ngepel puskesmas.
Putranya tumbuh dewasa dengan kedewasaan tanpa sosok ayah yang dikatakan ataupun tidak sangat mereka rindukan. Wajah-wajah mereka megambarkan ketegaran, ujian hidup yang mereka hadapi berat, diusia remaja harus meninggalkan arena bermain demi menyambung hidup, membayar hutang pengobatan ayahnya serta berjaga-jaga apabila terjadi sesuatu.
Ibu dan kedua putranya ini setiap hari tinggal dipuskesmas, berbaju dan beralas tidur sederhana, bahkan sesekali terlihat kakinya bertelanjang. Putra sulungnya, saya tidak tahu apakah masih melanjutkan sekolah atau berhenti.
Putra sulungnya dulu semasa SD satu angkatan dengan saya sehingga saya tahu sedikit tentangnya, dulu saya juga sempat melihat ayahnya sebelum meninggal juga dia yang masih SMP mencari rongsokan barang bekas ditempat-tempat pembuangan sampah.
Keluarga ini hidup dengan kelapangan hati yang tidak semua keluarga memilikinya.
Malam ini, ketika saya memutuskan mengantarkan adik laki-laki saya mengikuti wisata disekolahannya, saya melihat ibu ini bersama putra sulungnya mengantarkan putranya/adik laki-lakinya, wajah adik laki-lakinya bahagia menunggu keberangkatan bus yang terparkir di kiri jalan raya depan sekolah, saya melihat kebahagian yang berbeda dari wajah putranya yang mungkin jarang mengikuti wisata seperti ini, wajah ibunya cemas memikirkan anaknya. Si sulung merangkul pundak adiknya, menepuk-nempuk memberi nasihat agar berhati-hati disana.
Alangkah terkejut saya ketika melihat kearah kakinya, si sulung bertelanjang kaki, ibunya juga demikian dan adik laki-lakinya mengenakan alas kaki seadanya dari sandal sepuluh ribuan. Kaki mereka terselimuti lumpur yang tersiram air gerimis. Adiknya yang tertawa bahagia melihat wajah ibunya yang penuh keragu-raguan, memastikan dia akan baik-baik saja disaja. Klakson keberangkatan dibunyikan, si Sulung mengantarkan adiknya menuju bus, membawakan bekal serta jaket untuknya, sedangkan ibunya diluar tertunduk menyeka ujung matanya dengan ujung baju yang dikenakannya. Selang beberapa menit si sulung keluar dari bus, memberi isyarat pada ibunya bahwa semua peralatan adiknya telah siap dan akan baik-baik saja. Tapi air mata kecemasan ibunya semakin membanjiri pipinya, ditengah hiruk pikuk keramaian jalan raya, si sulung memnyeka air mata ibunya dengan tangannya dan mendekap ibunya. Memberi kenyamanan akan kecemasannya, memberi pengertian akan adiknya yang akan baik-baik saja.
Bus sempurna melaju perlahan, diiringi kepulangan orang tua murid juga ibu ini yang pulang dengan rangkulan pundak putra sulungnya.
Anak sulungnya kini mengantikan posisi suaminya sekaligus ayah bagi kedua putranya. Si sulung menjadi remaja yang bijaksana dalam menghadapi masalah hidup.
Saya yang melihat dari kejauhan berusaha menahan air mata agar tak tumpah. Subhanallah, semoga keluarga ini selalu tercukupi secara lahir maupun batin.

jangan cuman dilihatin doang dong.
comment yukz :-)